Lupa Tak Semudah Itu

Raket sibuk menyambut dan melemparkan kembali bola ‘kok’ kesana kemari. Kaki sudah melompat ke kiri dan ke kanan, depan dan belakang, mengejar bola yang dikembalikan lawan. Peluh terasa, tapi keringat tak keluar. Begini rasanya musim dingin. 

blog-5

Masih teringat jelas memori kala itu. Saya dan beberapa kawan menghabiskan sore dengan jadwal bermain bulutangkis. Bagi saya, ini yang pertama. Olahraga di Cina. Bagi teman Indonesia yang lebih dahulu menetap di sini, bulutangkis telah menjadi aktivitas mingguan selepas kegiatan di kampus.

Layaknya segala sesuatu yang pertama kalinya dilakukan, sesi olahraga sore itu juga berlangsung seru. Menyewa 2 lapangan, kami berenam main bergantian. Tak hanya olahraga di negara lain yang berkesan. Olahraga di tengah musim dingin tanpa setetes keringat itu meninggalkan kesan yang luar biasa rekatnya di benak saya, hingga hari ini.

Beberapa minggu sebelumnya, kala kami baru menginjakkan kaki di sini, angin musim dingin yang semilir berhembus juga menorehkan senyum di wajah saya. Masih teringat jelas bagaimana kami menunggu di kampus, untuk membereskan urusan administrasi menjelang perkuliahan. Baju 3 lapis tak mampu menahan dinginnya angin. Baju tebal yang tak pernah akan menjadi koleksi baju di lemari, tiba-tiba menjadi baju yang seakan tak ingin pernah kami lepaskan barang semenit pun.

img_2204

Belum lagi kalau malam tiba. Tidur di kamar tanpa AC bukan perkara besar. Yang jadi soal adalah, tidur tanpa AC, dan kedinginan kendati baju lengan panjang, jaket, dan selimut, telah tersedia. Selimut di sini memang bukan bed cover tebal layaknya yang dijumpai di hotel bintang lima. Selimut yang saya miliki kala itu hanyalah bekal dari IKEA yang saya beli di sana. Berhubung murah, jangan berharap banyak dengan ketebalan dan kenyamanan untuk menghalau dingin. Begitulah tiap malam dihabiskan. Kedinginan.

img_2438

Kedinginan juga menghujam kala berada di kampus. Kegiatan pertama dengan teman kelas adalah saat salah satu teman merayakan ulang tahunnya. Teman Indonesia yang sudah akrab satu sama lain membuat acara kecil-kecilan untuk merayakan hari jadi si kawan. Kami sekelas digiring ke luar kelas untuk kejutan kecil. Hih. Sembari merangkul diri sendiri karena angin yang cukup dingin, kami menyanyikan lagu ulang tahun, menyambut sesi tiup lilin, hingga mencicipi kue ulang tahun.

Lari kala musim dingin juga tak berdampak banyak untuk mendatangkan keringat. Sepedaan juga tidak berpengaruh. Keringat menjadi hal yang dinanti di kala itu.

IMG_2424.JPG

Tapi, urusan mencari keringat ini tak jadi soal bagi teman yang sudah mencicipi 4 musim sedari bayi. Mereka asal Rusia, Perancis, atau negara Eropa lainnya, tak masalah dengan angin sejuk. Belasan derajat yang sudah bikin saya hampir mencak-mencak, tak jadi soal buat mereka. Beberapa melenggok dengan santai berbalut tanktop dan celana pendek. “Panas,” kata salah satu kawan asal Inggris. Saya sempat bermimpi bisa mengatakan hal yang sama suatu hari.

Acara gigil menggigil bertahan hampir 4 bulan. Saat Mei tiba, matahari mulai menyeruak. Tak ada lagi kedinginan. Baju hangat sudah dikemas. Terlipat rapi di dalam koper yang bersembunyi di bawah ranjang. Siap untuk dibawa pulang, beberapa bulan setelahnya…

***

Saya tau foto bisa banyak bicara. Tapi kali ini, memori itu terlalu meledak. Perlu tulisan supaya ledakan mereda.

Leave a comment