Masih Sama

Empat bulan lalu, jam segini, 23.08…

Saya baru tiba di rumah. Tergesa-gesa membuka gembok pagar, memasukkan motor ke balik pagar rumah. Kemudian, dengan sigap mengunci gembok pagar, lalu membuka kunci pintu. Dan, hop! Masuk ke dalam rumah.

Lepas helm. Lepas jaket. Nyalain lampu. Set! Naik ke lantai dua, mengunci diri di kamar.

Mandi adalah kegiatan pertama setelah di kamar. 20 menit sesudahnya, saya sudah berbaring santai di atas tempat tidur, dengan lampu yang sudah tidak menyala, sembari menikmati program yang ditawarkan dari paket tv kabel termurah yang saya pilih. Terkadang, stasiun musik saya biarkan begitu saja, sembari asyik mengutak-atik ponsel saya.

Kalau tidak ada yang dibicarakan bersama kekasih, satu jam setelahnya, saya sudah tertidur. Oh yah, saya tertidur dengan sedikit kilas cahaya dari jalan yang menembus lewat gorden abu-abu di kamar saya.

Itu cerita empat bulan lalu.

Sekarang, saya berbaring di kasur juga. Tapi, lokasi terakhir yang saya kunjungi tadi bukan lapangan tempat saya bekerja empat bulan lalu. Saya baru tiba dari vihara.

Kamar saya juga bukan kamar empat bulan lalu yang saya harus tuju dengan naik ke lantai dua terlebih dahulu. Sekarang, tidak ada televisi tayangan dengan artis-artis berambut pirang di setiap jam. Yang ada hanya siaran televisi lokal yang masih bisa ditangkap oleh antena. Tidak ada lagi kekasih. Tidak ada pula cahaya, sebab posisi kamar saya ada di lantai satu, dengan atap yang tepat di depan kamar. Gang rumah saya gelap, bukan berseberangan dengan jalan layang seperti kamar saya empat bulan lalu.

*

“Waktu berjalan dan banyak hal berubah. Namun, hujan di Senayan tidak. Dan ialah yang menyadarkanku akan hal-hal yang tak lagi sama.”

Itu kalimat yang saya kutip dari tulisan teman saya, Gadi, teman asal Malang yang saya kenal di Senayan, mungkin sembilan bulan lalu, saat saya masih dibayar dari tulisan. Membaca kalimatnya, entah kenapa, saya merasa lega, bahagia.

Perasaan saya yang kerap bergejolak satu bulan ini seketika diselipi ketenangan menemukan tulisannya. Dia masih Gadi yang sama. Yang suka dengan hal detil, akrab dengan ketenangan, kesunyian, dan hidup dengan pemikiran yang sangat mendalam akan hal-hal yang seringkali saya abaikan begitu saja.

Seakan saya menemukan sesuatu yang berbisik kepada saya bahwa masih ada yang sama seperti empat bulan lalu. Teman-teman saya masih belum berubah. Mereka mungkin menjalankan kehidupan yang berbeda seperti empat bulan lalu, tapi bagaimana adanya mereka, saya yakin, masih sama. Senang bisa menyadarinya.

Paling tidak, saya tahu harus ke mana jika saya merindukan cerita empat bulan lalu.

Hujan di Senayan tidak. Ialah yang menyadarkanku bahwa ada hal yang masih sama. – pinjam ya, Gad. :) *saya rindu Senayan*

8 thoughts on “Masih Sama

      1. “Ada hal yang masih sama” Betul! :)

        Sayang, bagi Mang Bubur Ayam, keadaan tak lagi sama. “Sekarang wartawan jarang ke sini, Bang,” katanya di suatu pagi, hihihi

        Like

          1. Ah, ini dia. Ingin berkabar tapi lupa terus. Abang itu sudah gundul sekarang. Potongan satu senti. Batoknya sudah hilang. Semoga enggak makin bikin sedih :)

            Like

Leave a comment